ONESHINEEDU, JATIKRAMAT - Cut Nyak Meutia bernama lengkap Tjoet Nyak Meutia alias Cut Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh.
Cut Meutia merupakan pahlawan perempuan Indonesia yang berani.
Cut Meutia tak gentar sedikit pun melawan pasukan penjajah Belanda.
Cut Meutia tak gentar sedikit pun melawan pasukan penjajah Belanda.
Ia merupakan putri Teuku Ben Wawud, ulebalang Perak, Aceh.
Wanita ini lahir tiga tahun sebelum perang Aceh Meletus, pada tahun 1870.
Cut Meutia terkenal sebagai anak yang cantik dengan kulit putih bersih dan tubuh yang tinggi.
Ia menikah dengan Teuku Syam Sareh, salah satu dari tiga anak angkat Cut Nyak Aisah, saat ia dewasa.
Pertunagan ini ditetapkan tanpa sepengetahuan orang tua kedua belah pihak.
Meskipun mereka kemudian dikawinkan, Cut Meutia tidak mau menjalankan peran istrinya.
Karena itu, mereka bercerai.
Setelah itu, Cut Meutia menikah dengan Teuku Cut Muhammad, adik Syam Sareh, yang kemudian diberi nama Teuku Cik Tunong.
Selama hidup mereka, pasangan ini terlibat dalam perjuangan rakyat Aceh yang dikenal sebagai Muslimin untuk menentang penjajahan Belanda.
Suami Cut Meutia, Teuku Cut Muhhamad, tidak terikat oleh perjanjian pendek dengan Belanda yang ditandatangani kakaknya.
Ia lebih tertarik pada perjuangan Muslim melawan Belanda.
Ia mengumpulkan dua belas dari teman-temannya yang berani, tampan, dan tangkas dan membawanya ke sultan Aceh.
Sejak akhir tahun 1901, Cut Muhammad dan dua belas teman-temannya terus berjuang.
Mereka melakukan sabotase di berbagai tempat, termasuk membongkar rel kereta api yang dibuat oleh Belanda untuk mengangkut pasukannya di malam hari.
Sultan mengangkat Cut Muhhamad menjadi ulebalang Keureutoe, yang berarti Keureutoe secara keseluruhan, meskipun bagian utara, di mana Cik Bintara berada, telah diberikan kepada Belanda.
Orang-orang di sekitar Cut Muhhamad biasanya disebut "Cik Tunong", yang berarti "Cik (ulebalang) bagian selatan." Selain itu, Cik Bintara disebut Cik Baroh di sisi utara.
Cik Tunong selalu bersemangat.
Dari tahun 1901 hingga 1903, ia memimpin pertempuran di bagian timur Aceh Utara.
Pasukan sultan tidak perlu berjuang banyak di daerah Pasei karena kegigihan Cik Tunong dan pasukannya.
Selain itu, tampak bahwa perjuangan muslim mulai berhenti di berbagai bidang.
Berita bahwa beberapa ulama secara rahasia kembali ke desa dan mendirikan pesantren menunjukkan kemunduran perjuangan muslimin.
Sultan menyerah, dan Cik Tunong diangkat.
Oleh karena itu, ia bersetuju dengan istrinya, Cut Meutia, yang selalu mendampinginya dalam perjalanan bersenjata, dan pasukannya, terutama kawan-kawannya yang berjumlah 12 orang, untuk keluar dari hutan dan kembali ke kedesanya.
Cik Tunong kembali ke Jrat Mayang, rumah ibu angkatnya, Cut Nyak Aisah.
Cut Meutia hamil tua dan sakit parah, bahkan lumpuh.
Sakitnya disebabkan oleh kekurangan makan, kurangnya perawatan, dan pengobatan yang buruk.
Dalam situasi seperti itu, ia melahirkan anak kembarnya, yang kemudian meninggal dunia.
Sejak Cik Tunong ditangkap dan kemudian ditembak mati oleh Belanda, ia tidak bertemu dengan suaminya.
Mulailah babak baru perjuangan keras Cut Meutia.
Perjuangan muslim melawan Belanda kembali muncul, tetapi tidak sebesar dan seganas sebelumnya.
Pasukan Muslim menjadi lebih besar, terdiri dari Pang Nanggroe, Teungku di barat, Pang Amin, dan Muda Kari.
Pada suatu hari, ketika pasukan Muslim sedang beristirahat di sebuah pondok di mana pria dan wanita berkumpul, musuh menyerang dengan tiba-tiba.
Putra Cut Meutia, Teuku Raja Sabi, mengikuti Pang Nanggroe yang tidak mundur, sedangkan kaum wanita dipimpinnya mundur ke pedalaman.
Ia terus bertahan untuk melindungi kaum wanita dari perhatian musuh dan serangan.
Pang Nanggroe tetap berjuang di tempatnya meskipun pasukan Marsose semakin dekat.
Pada akhirnya, pada tanggal 26 September 1910, musuh menembak Pang Nanggroe dari jarak yang sangat dekat, tepat pada dadanya.
Setelah Pang Nanggroe meninggal, anak buahnya menyerahkan pimpinan pasukan kepada Cut Meutia, dan dia tidak menolaknya.
Setelah mencapai kesepakatan, mereka kemudian berangkat ke Gayo untuk bergabung dengan pasukan lain.
Rombongan itu berhenti untuk menanak nasi di Alue Kurieng, di persimpangan Krueng Peutoe. Di sana, pasukan Christoffel menyerang mereka dengan cepat.
Pasukan muslimin yang sangat lemah itu segera bersiap menghadapi musuh.
Pada pertempuran itu, Cut Meutia terduduk di tanah setelah kakinya ditembak.
Bahkan dengan pedang terhunus, Cut Meutia tetap melakukan perlawanan hingga dia dibunuh oleh musuh.
Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada di dekatnya sebelum dia meninggal.
Amanat singkatnya, "Selamatkan anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu," dipenuhi dan Teuku Raja Sabi, putra Cik Tunong dan Cut Meutia, selamat dan menikmati kemerdekaan Indonesia.
Namun, ia meninggal dalam apa yang disebut sebagai "Revolusi sosial" di Sumatera Utara pada tahun 1946.
Pada 2 Mei 1964, Cut Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan SK Presiden RI No. 107/1964.
Profil Cut Meutia
Tjoet Nyak Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Aceh.
Dia lahir pada tanggal 15 Februari 1870 dan meninggal pada tanggal 24 Oktober 1910.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964, ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.
Tjoet Nyak Meutia, juga dikenal sebagai Cut Meutia, adalah anak dari perkawinan Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah.
Keluarga ini memiliki lima anak, dengan Cut Meutia sebagai satu-satunya putri dan keempat saudaranya adalah laki-laki.
Orang tua Tjoet Nyak Meutia adalah Uleebalang dari Aceh yang tinggal di desa Pirak di daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Saudara tertua mereka bernama Cut Beurahim, dan kemudian mereka adalah Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen, dan Teuku Muhammad Ali.
Tjoet Meutia dan suaminya, Teuku Muhammad, juga dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong, pada awalnya melawan Belanda.
Namun, Tjik Tunong berhasil ditangkap oleh Belanda pada bulan Maret 1905 dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe.
Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong meminta Pang Nanggroe untuk merawat anaknya, Teuku Raja Sabi, dan menikahi istrinya.
Sesuai wasiat suaminya, Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe dan bergabung dengan pasukan lain di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.
Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan saat terlibat dalam pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem.
Perlawanan Pang Nagroe tidak berhenti hingga dia tewas pada 26 September 1910.
Setelah itu, Djoet Meutia bangkit dan terus berjuang bersama sisa-sisa pasukannya.
Sambil berjalan melalui hutan belantara menuju Gayo, ia menyerang dan mengambil markas kolonial.
Namun, pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia dan pengikutnya terlibat dalam pertempuran dengan Marechausée di Alue Kurieng.
Tjoet Njak Meutia tewas dalam pertempuran itu.
Pemerintah Republik Indonesia mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000, pada tanggal 19 Desember 2016.
Penghargaan
- Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh
- Mata Uang Nominal 1.000 Rupiah
Nama Cut Meutia juga diabadikan di beberapa tempat:
- Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia, Aceh Utara
- Museum Rumah Cut Meutia, Aceh Utara
- Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat
- Taman Cut Meutia, Bekasi, Jawa Barat, dan
- Beberapa nama - nama Jalan di Indonesia
Tempat Peristirahatan
Pasukan Belanda menggencarkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia pada bulan Oktober 1910.
Hal itu membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.
Hingga pada tanggal 24 Oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pasukan yang dipimpin Cut Meutia.
Dalam pertempuran ini Cut Meutia gugur.
Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.
Wanita ini lahir tiga tahun sebelum perang Aceh Meletus, pada tahun 1870.
Cut Meutia terkenal sebagai anak yang cantik dengan kulit putih bersih dan tubuh yang tinggi.
Ia menikah dengan Teuku Syam Sareh, salah satu dari tiga anak angkat Cut Nyak Aisah, saat ia dewasa.
Pertunagan ini ditetapkan tanpa sepengetahuan orang tua kedua belah pihak.
Meskipun mereka kemudian dikawinkan, Cut Meutia tidak mau menjalankan peran istrinya.
Karena itu, mereka bercerai.
Setelah itu, Cut Meutia menikah dengan Teuku Cut Muhammad, adik Syam Sareh, yang kemudian diberi nama Teuku Cik Tunong.
Selama hidup mereka, pasangan ini terlibat dalam perjuangan rakyat Aceh yang dikenal sebagai Muslimin untuk menentang penjajahan Belanda.
Suami Cut Meutia, Teuku Cut Muhhamad, tidak terikat oleh perjanjian pendek dengan Belanda yang ditandatangani kakaknya.
Ia lebih tertarik pada perjuangan Muslim melawan Belanda.
Ia mengumpulkan dua belas dari teman-temannya yang berani, tampan, dan tangkas dan membawanya ke sultan Aceh.
Sejak akhir tahun 1901, Cut Muhammad dan dua belas teman-temannya terus berjuang.
Mereka melakukan sabotase di berbagai tempat, termasuk membongkar rel kereta api yang dibuat oleh Belanda untuk mengangkut pasukannya di malam hari.
Sultan mengangkat Cut Muhhamad menjadi ulebalang Keureutoe, yang berarti Keureutoe secara keseluruhan, meskipun bagian utara, di mana Cik Bintara berada, telah diberikan kepada Belanda.
Orang-orang di sekitar Cut Muhhamad biasanya disebut "Cik Tunong", yang berarti "Cik (ulebalang) bagian selatan." Selain itu, Cik Bintara disebut Cik Baroh di sisi utara.
Cik Tunong selalu bersemangat.
Dari tahun 1901 hingga 1903, ia memimpin pertempuran di bagian timur Aceh Utara.
Pasukan sultan tidak perlu berjuang banyak di daerah Pasei karena kegigihan Cik Tunong dan pasukannya.
Selain itu, tampak bahwa perjuangan muslim mulai berhenti di berbagai bidang.
Berita bahwa beberapa ulama secara rahasia kembali ke desa dan mendirikan pesantren menunjukkan kemunduran perjuangan muslimin.
Sultan menyerah, dan Cik Tunong diangkat.
Oleh karena itu, ia bersetuju dengan istrinya, Cut Meutia, yang selalu mendampinginya dalam perjalanan bersenjata, dan pasukannya, terutama kawan-kawannya yang berjumlah 12 orang, untuk keluar dari hutan dan kembali ke kedesanya.
Cik Tunong kembali ke Jrat Mayang, rumah ibu angkatnya, Cut Nyak Aisah.
Cut Meutia hamil tua dan sakit parah, bahkan lumpuh.
Sakitnya disebabkan oleh kekurangan makan, kurangnya perawatan, dan pengobatan yang buruk.
Dalam situasi seperti itu, ia melahirkan anak kembarnya, yang kemudian meninggal dunia.
Sejak Cik Tunong ditangkap dan kemudian ditembak mati oleh Belanda, ia tidak bertemu dengan suaminya.
Mulailah babak baru perjuangan keras Cut Meutia.
Perjuangan muslim melawan Belanda kembali muncul, tetapi tidak sebesar dan seganas sebelumnya.
Pasukan Muslim menjadi lebih besar, terdiri dari Pang Nanggroe, Teungku di barat, Pang Amin, dan Muda Kari.
Pada suatu hari, ketika pasukan Muslim sedang beristirahat di sebuah pondok di mana pria dan wanita berkumpul, musuh menyerang dengan tiba-tiba.
Putra Cut Meutia, Teuku Raja Sabi, mengikuti Pang Nanggroe yang tidak mundur, sedangkan kaum wanita dipimpinnya mundur ke pedalaman.
Ia terus bertahan untuk melindungi kaum wanita dari perhatian musuh dan serangan.
Pang Nanggroe tetap berjuang di tempatnya meskipun pasukan Marsose semakin dekat.
Pada akhirnya, pada tanggal 26 September 1910, musuh menembak Pang Nanggroe dari jarak yang sangat dekat, tepat pada dadanya.
Setelah Pang Nanggroe meninggal, anak buahnya menyerahkan pimpinan pasukan kepada Cut Meutia, dan dia tidak menolaknya.
Setelah mencapai kesepakatan, mereka kemudian berangkat ke Gayo untuk bergabung dengan pasukan lain.
Rombongan itu berhenti untuk menanak nasi di Alue Kurieng, di persimpangan Krueng Peutoe. Di sana, pasukan Christoffel menyerang mereka dengan cepat.
Pasukan muslimin yang sangat lemah itu segera bersiap menghadapi musuh.
Pada pertempuran itu, Cut Meutia terduduk di tanah setelah kakinya ditembak.
Bahkan dengan pedang terhunus, Cut Meutia tetap melakukan perlawanan hingga dia dibunuh oleh musuh.
Cut Meutia sempat berpesan kepada Teuku Syekh Buwah yang berada di dekatnya sebelum dia meninggal.
Amanat singkatnya, "Selamatkan anakku, Raja Sabi. Aku serahkan dia ke tanganmu," dipenuhi dan Teuku Raja Sabi, putra Cik Tunong dan Cut Meutia, selamat dan menikmati kemerdekaan Indonesia.
Namun, ia meninggal dalam apa yang disebut sebagai "Revolusi sosial" di Sumatera Utara pada tahun 1946.
Pada 2 Mei 1964, Cut Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan SK Presiden RI No. 107/1964.
Profil Cut Meutia
Tjoet Nyak Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Aceh.
Dia lahir pada tanggal 15 Februari 1870 dan meninggal pada tanggal 24 Oktober 1910.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964, ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.
Tjoet Nyak Meutia, juga dikenal sebagai Cut Meutia, adalah anak dari perkawinan Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah.
Keluarga ini memiliki lima anak, dengan Cut Meutia sebagai satu-satunya putri dan keempat saudaranya adalah laki-laki.
Orang tua Tjoet Nyak Meutia adalah Uleebalang dari Aceh yang tinggal di desa Pirak di daerah Keuleebalangan Keureutoe.
Saudara tertua mereka bernama Cut Beurahim, dan kemudian mereka adalah Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen, dan Teuku Muhammad Ali.
Tjoet Meutia dan suaminya, Teuku Muhammad, juga dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong, pada awalnya melawan Belanda.
Namun, Tjik Tunong berhasil ditangkap oleh Belanda pada bulan Maret 1905 dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe.
Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong meminta Pang Nanggroe untuk merawat anaknya, Teuku Raja Sabi, dan menikahi istrinya.
Sesuai wasiat suaminya, Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe dan bergabung dengan pasukan lain di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe.
Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan saat terlibat dalam pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem.
Perlawanan Pang Nagroe tidak berhenti hingga dia tewas pada 26 September 1910.
Setelah itu, Djoet Meutia bangkit dan terus berjuang bersama sisa-sisa pasukannya.
Sambil berjalan melalui hutan belantara menuju Gayo, ia menyerang dan mengambil markas kolonial.
Namun, pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia dan pengikutnya terlibat dalam pertempuran dengan Marechausée di Alue Kurieng.
Tjoet Njak Meutia tewas dalam pertempuran itu.
Pemerintah Republik Indonesia mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000, pada tanggal 19 Desember 2016.
Penghargaan
- Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh
- Mata Uang Nominal 1.000 Rupiah
Nama Cut Meutia juga diabadikan di beberapa tempat:
- Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia, Aceh Utara
- Museum Rumah Cut Meutia, Aceh Utara
- Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat
- Taman Cut Meutia, Bekasi, Jawa Barat, dan
- Beberapa nama - nama Jalan di Indonesia
Tempat Peristirahatan
Pasukan Belanda menggencarkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia pada bulan Oktober 1910.
Hal itu membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.
Hingga pada tanggal 24 Oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dan pasukan yang dipimpin Cut Meutia.
Dalam pertempuran ini Cut Meutia gugur.
Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada Teuku Syech Buwah untuk dijaga.
Tentang One Shine Edu
Bergabunglah dengan program les privat One Shine Edu dan mulailah perjalanan menuju prestasi akademik yang cemerlang!
Kami One Shine Edu siap membimbing anak untuk bisa belajar dengan menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas, berkompeten dan berdedikasi.
Hal itu untuk memastikan pemahaman konsep dan peningkatan prestasi siswa.
Sistem pembelajaran One Shine Edu
1). Online
Layanan les privat online one on one di One Shine Edu dengan metode pembelajaran yang sangat mudah.
Kapanpun dan dimanapun, siswa dibimbing dengan guru berkualifikasi tinggi.
Kami menyediakan pembelajaran tatap muka secara langsung dari rumah melalui Google Meet dan Zoom meeting.
Guru yang berpersonalisasi tinggi ini untuk meraih hasil optimal.
Dengan guru berkualitas dan memenuhi persyaratan dalam mengajar online.
2). Offline
Layanan les privat offline yang menjangkau di seluruh Indonesia.
Guru berkualitas tinggi akan datang langsung ke lokasi Anda, memberikan pembelajaran tatap muka yang personal dan efektif.
Dengan pendekatan khusus, kami siap membantu meraih kesuksesan akademis maupun non-akademis.
Hubungkan diri Anda dengan guru terbaik, tingkatkan pemahaman, dan raih prestasi optimal.
Multibahasa
Sudah menjadi kenyataan bahwa dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kemampuan berbahasa tidak hanya merupakan keahlian yang berguna, tetapi juga menjadi kebutuhan yang penting.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa dapat memberi keuntungan yang besar dalam berbagai aspek kehidupan.
Baik itu dalam karir, hubungan sosial, maupun perjalanan.
Itulah mengapa One Shine Edu hadir untuk membantu Anda dalam belajar bahasa.
One Shine Edu adalah platform pembelajaran multibahasa yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pelajar bahasa dari berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan.
Dengan pendekatan yang inovatif dan beragam metode pengajaran, One Shine Edu memiliki visi untuk membantu Anda dalam memperoleh kemampuan berbahasa yang kuat dan beragam.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di:
Home: Jalan H Gemin 1, Kp. Cakung, Kelurahan Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Email: oneshineeduconsultant@gmail.com
Phone/WhatsApp: +6281389851615
Bisa juga mengunjungi media sosial (Medsos) kami di:
TikTok : @oneshineedu.id
Instagram : @oneshineedu.id
YouTube : OneShine Edu
X (Twitter) : @OneShineEdu
(Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia/budaya.jogjaprov.go.id/One Shine Edu/WikiPedia)
Kami One Shine Edu siap membimbing anak untuk bisa belajar dengan menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas, berkompeten dan berdedikasi.
Hal itu untuk memastikan pemahaman konsep dan peningkatan prestasi siswa.
Sistem pembelajaran One Shine Edu
1). Online
Layanan les privat online one on one di One Shine Edu dengan metode pembelajaran yang sangat mudah.
Kapanpun dan dimanapun, siswa dibimbing dengan guru berkualifikasi tinggi.
Kami menyediakan pembelajaran tatap muka secara langsung dari rumah melalui Google Meet dan Zoom meeting.
Guru yang berpersonalisasi tinggi ini untuk meraih hasil optimal.
Dengan guru berkualitas dan memenuhi persyaratan dalam mengajar online.
2). Offline
Layanan les privat offline yang menjangkau di seluruh Indonesia.
Guru berkualitas tinggi akan datang langsung ke lokasi Anda, memberikan pembelajaran tatap muka yang personal dan efektif.
Dengan pendekatan khusus, kami siap membantu meraih kesuksesan akademis maupun non-akademis.
Hubungkan diri Anda dengan guru terbaik, tingkatkan pemahaman, dan raih prestasi optimal.
Multibahasa
Sudah menjadi kenyataan bahwa dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kemampuan berbahasa tidak hanya merupakan keahlian yang berguna, tetapi juga menjadi kebutuhan yang penting.
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, mampu berkomunikasi dalam berbagai bahasa dapat memberi keuntungan yang besar dalam berbagai aspek kehidupan.
Baik itu dalam karir, hubungan sosial, maupun perjalanan.
Itulah mengapa One Shine Edu hadir untuk membantu Anda dalam belajar bahasa.
One Shine Edu adalah platform pembelajaran multibahasa yang dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan pelajar bahasa dari berbagai latar belakang dan tingkat kemampuan.
Dengan pendekatan yang inovatif dan beragam metode pengajaran, One Shine Edu memiliki visi untuk membantu Anda dalam memperoleh kemampuan berbahasa yang kuat dan beragam.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami di:
Home: Jalan H Gemin 1, Kp. Cakung, Kelurahan Jatikramat, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Email: oneshineeduconsultant@gmail.com
Phone/WhatsApp: +6281389851615
Bisa juga mengunjungi media sosial (Medsos) kami di:
TikTok : @oneshineedu.id
Instagram : @oneshineedu.id
YouTube : OneShine Edu
X (Twitter) : @OneShineEdu
(Perpustakaan Museum Pergerakan Wanita Indonesia/budaya.jogjaprov.go.id/One Shine Edu/WikiPedia)