Siapakah yang menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW?
A. Abu Bakar
B. Umar bin Khattab
C. Uthman bin Affan
D. Ali bin Abi Thalib
Khalifah (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) merupakan suatu istilah yang memiliki dua pengertian, yaitu pengertian pertama berarti gelar makhluk yang akan diciptakan Allah di bumi, yaitu Manusia, untuk menggantikan makhluk yang ada sebelumnya. Pengertian kedua adalah gelar yang diberikan untuk penerus Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Wilayah kewenangan khalifah disebut kekhalifahan atau Khilafah (bahasa Arab: خِلافة; khilāfah). Gelar lain yang juga melekat dengan khalifah adalah amīr al-mu’minīn (أمير المؤمنين) Amirul Mukminin atau “pemimpin orang-orang yang beriman yang telah dibaiat dengan hukum Kitabillah wa Sunnah”, meski pada keberjalanannya, gelar ini juga disandang oleh pemimpin Muslim selain khalifah.
Sepanjang sejarahnya, peran khalifah dan bentuk kekhalifahan memiliki beragam corak yang sangat dipengaruhi keadaan politik dan keagamaan pada masa tersebut. Dilihat dari latar belakang khalifah, kekhalifahan dibagi ke dalam empat periode: Kekhalifahan Rasyidin (632–661), Kekhalifahan Umayyah (661–750), Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 dan 1261–1517), dan Kekhalifahan Utsmaniyah (1517–1924).
Kekhalifahan dimulai seiring dibaiatnya Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam tepat setelah meninggalnya Muhammad pada tahun 632. Abu Bakar dan tiga penerusnya, semuanya sahabat Nabi dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Muhammad, dikelompokkan sebagai Khulafaur Rasyidin atau Kekhalifahan Rasyidin. Pemilihan keempat khalifah pertama ini didasarkan melalui musyawarah dan kepantasan pribadi calon sehingga Kekhalifahan Rasyidin kerap dipandang sebagai bentuk awal demokrasi Islam.
Setelah perang saudara pertama di penghujung masa Kekhalifahan Rasyidin, Hasan bin ‘Ali menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Mu’awiyah yang kemudian mengubah bentuk kekhalifahan menjadi monarki-dinasti, menandai dimulainya masa Kekhalifahan Umayyah. Berpusat di Damaskus, Bani Umayyah memegang tampuk kekhalifahan selama hampir seabad sebelum akhirnya digulingkan kelompok Abbasiyah yang mendirikan kekhalifahan-dinasti mereka sendiri mulai tahun 750. Berbeda dengan masa Khulafaur Rasyidin atau Umayyah, khalifah pada masa Abbasiyah tidak lagi memimpin secara langsung seluruh wilayah dunia Islam dan wilayah kekuasaannya hanya berkisar di kawasan Mesopotamia. Beberapa kepala negara Muslim (bergelar amir atau sultan) memimpin wilayah kekuasaan mereka secara mandiri tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan dan kepala negara Muslim yang lain memberikan ketundukkan mereka secara simbolis kepada khalifah. Berbeda dengan Umayyah yang sangat bercorak Arab, Abbasiyah yang berpusat di kawasan Mesopotamia memberikan corak Persia yang kental pada kekhalifahan.
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Kesultanan Mamluk. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai “khalifah bayangan.”
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan padisyah (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan padisyah (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat Perjanjian Küçük Kaynarca, untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan Abdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, Mustafa Kemal (Atatürk) belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah Abdul Mejid II pada 19 November 1922. Abdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir Abdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan Abdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
Khalifah berbeda dengan sultan. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan pada masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
Etimologi
Kata “khalifah” (bahasa Arab: خَليفة; khalīfah) bermakna “penerus” atau “perwakilan.” Dalam Al-Qur’an disebutkan,
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.'” [Qur’an Al-Baqarah:030]
“Wahai Dawud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” [Qur’an Sad:026]
Dalam konteks khusus, khalifah adalah pengganti atau penerus Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Kepemimpinan umat ini memiliki dimensi duniawi dan agama, sehingga pada dasarnya, khalifah adalah pemimpin dan pembimbing umat Islam dalam urusan administratif kenegaraan ataupun moral dan agama. Secara tradisi, khalifah sendiri merupakan kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh (penerus utusan Allah).
Khalifah juga dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola alam untuk keperluan hidupnya. Kewenangan ini diberikan dengan adanya batasan atas tanggung-jawab yang baik dan tidak berlebihan. Bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memenuhi peran ini adalah akal. Keberadaan akal membuat manusia dapat melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Dengan perannya ini, manusia diberi tanggung jawab untuk memakmurkan alam sehingga tercipta keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an pada Surah Luqman ayat 20. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengatur langit dan Bumi agar sesuai dengan kebutuhan hidup manusia secara sempurna. Ini dijadikan olehNya sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Sedangkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi ditetapkan oleh Allah pada Surah Hud ayat 61. Ayat ini juga mengaitkan peran manusia sebagai pemakmur Bumi dan penciptaan manusia dari tanah.
Jawaban dari Pertanyaan
A. Abu Bakar